Pendahuluan
Di tengah disrupsi digital yang secara signifikan mampu merubah metode seorang manusia dalam berkomunikasi, lahir pasal 27A UU Nomor 1 Tahun 2024 sebagai perbaikan dari pasal sebelumnya yaitu 27 ayat 3 yang mana menjadi salah satu pasal yang cukup mendapat sorotan dan ramai di perdebatkan. Pasal ini secara garis besar mengatur mengenai pencemaran nama baik yang dilakukan melalui platform media sosial (elektronik), dimana tidak jarang penerapanya kerap kali dianggap bertentangan dengan spirit demokrasi. Di era post truth, emosi seringkali dituhankan sehingga pasal ini tidak jarang dijadikan alat bukan hanya untuk membungkam kritik semata, lebih dari itu pasal ini juga digunakan untuk menghadirkan ketakutan di ruang public.
Contoh kasus yang relevan dalam melihat kejamnya pasal ini tergambarkan pada kriminalisasi yang didapatkan para aktivis serta masyarakat biasa seperti Septia Dwi Pertiwi yang mana iya di kriminalisasi oleh mantan bos nya sendiri Jhon LBF. Septia dituduh mencemarkan nama baik karena mengungkap pelanggaran hak ketenagakerjaan di perusahaan Jhon LBF. Kasus lain misal yang menimpa aktivis lingkungan Daniel Frits Maurits Tangkilisan, danil didakwa telah melakukan pencemaran nama baik karena melakukan kritik dengan menulis pada akun facebooknya dengan kalimat “masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambal dimakan petambak….” Dari postingan tersebut dani didakwa melanggar pasal 28 ayat 2 jo pasal 27 ayat 3 UU ITE. Contoh ini memberikan gambarak kepada kita semua bahwa potensi pasal ini dapat digunakan sebagai salah satu upaya dalam melakukan kriminalisasi terhadap pihak-pihak tertentu.
Pasal 27A tidak hanya menimbulkan kontroversi, lebih dari itu pasal ini juga mengancam kebebasan berekspresi yang mana hal tersebut merupakan hak konstitusional setiap masyarakat dan oleh UUD 1945 dan berbagai instrumen internasional telah menjamin hak tersebut. selain ancaman terhadap kebebasan berekspresi pasal ini juga membuka ruang multitafsir akibatnya memberikan ruang penyalahgunaan kekuasaan bagi pihak-pihak tertentu.
Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dikritisi terkait dengan adanya pasal ini sekaligus menegaskan urgensi perlu kiranya pasal ini di revisi atau bahkan di hapuskan. Pertama pasal ini di indikasi bertentangan dengan kebebasan berkreasi sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945. Kedua, penjelasan dalam undang-undang tidak mengikat hakim. Ketiga, pasal ini berpotensi menciptakan overcriminalization.
Pembahasan
Sebagaimana yang telah diuraikan pada pendahuluan, pasal 27A menjadi salah satu momok menakutkan bagi masyarakat. pasal ini sangat berpotensi dapat dijadikan sebagai alat untuk membungkam serta membatasi kebebasan seseorang dalam berekspresi sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 serta berbagai dokumen internasional. Adanya anggapan bahwa dengan adanya pasal ini berpotensi menciptakan overcriminalization, bertentangan dengan kebebasan berekspresi sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945 dan tidak menghadirkan kepastian hukum memberikan satu sinyal bahwa mestinya pasal ini perlu untuk dikaji kembali sehingga apa yang kemudian di khawatirkan sebagaimana yang telah terjadi pada para korban yang dijerat menggunakan pasal ini kedepannya tidak terulang kembali. Seperti yang dituangkan dalam pendahuluan sebelumnya, setidaknya ada tiga hal yang dapat dikritisi terkait dengan pasal ini.
Pertama, pasal ini di indikasi bertentangan dengan kebebasan berekspresi sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945, pasal 27A ini diindikasikan bertentangan dengan pasal 28E ayat 3 dan pasal 28F UUD 1945 kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Perlu di pahami bersama kebebasan berekspresi menjadi salah satu hak fundamental yang harus dilindungi. Saking pentingnya hak ini kemudian dipertegas dan dituangkan dalam UUD 1945 serta beberapa Undang-Undang terkait. Hanya saja di beberapa kasus, penyerobotan hak konstitusional yang mestinya dilindungi justru terjadi. beberapa kasus yang telah diuraikan sebelumnya seperti yang menimpah Septia Dwi Pertiwi dan aktivis lingkungan Danil Frits Maurits Tangkilisan memberikan gambaran bahwa pasal ini secara terang-terangan bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, yang mana setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat tanpa rasa takut atau intimidasi. Pelanggaran nilai-nilai demokrasi tersebut sangat jelas ketika kita coba untuk mempelajari kasus yang menimpa aktivis lingkungan Danil Frits Maurits. danil yang dilindungi anti slapp karena statusnya sebagai pejuang lingkungan hidup juga tidak lepas dari vonis pidana yang diberikan hakim pengadilan negeri sebagiaman pada putusan Nomor 14/Pid.Sus/2024/PN Jpa. walaupun pada tingkat banding, hakim pengadilan tinggi berdasarkan putusan Nomor 374/PID.SUS/2024/PT SMG. dalam vonisnya menyatakan danil lepas dari segala tuntutan. Fakta yang nampak pada putusan Pengadilan Negeri Jepara menunjukan kepada kita bahwa potensi pasal 27A dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik. Sehingga dari hal tersebut menciptakan chilling effect dimana individu merasa takut untuk berbicara, bahkan ketika kritik yang mereka sampaikan merupakan fakta dan bertujuan untuk kepentingan umum.
kedua, penjelasan dalam undang-undang tidak mengikat hakim. Dalam sistem hukum Indonesia penjelasan yang tertera dalam undang-undang bukanlah norma yang mengikat. Hal ini dapat kita lihat pada kasus yang menimpah Nazriel Irham alias aril. Dalam kasus tersebut hakim dalam putusanya mengesampingkan penjelasan yang tertuang dalam undang-undang, dengan dalih bahwa hakim berwenang menafsirkan lain sepanjang tidak bertentangan dengan aturan dalam batang tubuh undang-undang tersebut. kondisi ini tentunya menimbulkan kekhawatiran. dengan tidak terikatnya hakim pada penjelasan yang tertuang pada undang-undang yang mana dalam kontek pasal 27A sangat bergantung pada penjelasan yang dituangkan dalam undang-undang, membuka peluang pasal ini dapat dijadikan alat untuk membungkam kritik.
Penjelasan terkait diksi “kepentingan umum” yang terakomodir sebatas pada penjelasan undang-undang semata dan tidak tertuang pada batang tubuh tidak bisa memberikan satu kepastian hukum bahwa mengkritik dengan dasar kepentingan umum tidak dapat dikenakan pidana dalam pasal ini. Kondisi ini membuka kemungkinan kedepannya makin akan terus ada laporan-laporan yang di layangkan seorang pejabat public yang menganggap bahwa kritikan atas kebijakan yang dikeluarkan sebagai pejabat public merupakan pencemaran nama baik. Kondisi seperti ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pasal 27A merupakan pasal yang tidak memberikan kepastian hukum.
Ketiga, pasal ini berpotensi menciptakan overcriminalization. Ancaman pidana dalam pasal 27A sebagaimana yang termaktub pada pasal 45 ayat 4 yang mana seseorang yang melanggar pasal ini dapat dipidana selama dua tahun dan denda sebesar Rp. 400 juta, menurut penulis tidak mencerminkan asas proporsionalitas terhadap sifat perbuatanya. Tidak diterapkannya asas proporsionalitas pada pasal ini ditunjukkan dengan tidak adanya klasifikasi mengenai apakah tindakan pencemaran nama baik tersebut masuk dalam tindakan ringan, sedang maupun berat. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan apakah tindakan pencemaran nama baik ringan sudah tepat dijatuhkan pidana dua tahun serta denda sebanyak Rp. 400 jt.? Bagi penulis tentunya hal tersebut tidaklah tepat dengan didasarkan pada proporsionalitas pemidanaan yang mana belum terakomodir dalam pasal ini.
Selain itu menurut penulis Pemilihan sanksi pidana mestinya dijadikan sebagai ultimum remedium (hukum pidana sebagai sarana terakhir) kaitanya dengan penyelesaian konflik yang terjadi antara para pihak. Dalam banyak sistem hukum modern, pencemaran nama baik lebih sering diperlakukan sebagai masalah hukum keperdataan, dimana pihak yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan kerusakan reputasi yang mereka alami akibat tindakan yang dilakukan pelaku. Setidaknya ada beberapa negara yang telah meninggalkan sanksi pidana dan berlari ke sanksi perdata. Negara-negara tersebut yaitu Amerika Serikat, beberapa negara di asia, Meksiko, dan Georgia. Menurut ahli dari Kanada Toby Daniel mendel mengatakan bahwa saksi penjara pada pencemaran nama baik terlalu berlebihan, dimana hal tersebut dapat membatasi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pendapat seseorang, padahal menurutnya kebebasan seseorang sangat penting dengan tujuan untuk memperkuat demokrasi, memerangi korupsi serta ungkapan kebenaran yang disembunyikan.
Selaras dengan pendapat yang disampaikan Toby, penulis sepakat pencemaran nama baik mestinya diselesaikan dalam ranah keperdataan saja, mengingat pasal ini seringkali disalah gunakan dengan tujuan mengekang kebebasan berpendapat. Faktor lain yang mendorong penulis sepakat dihilangkanya sanksi pidana dalam hal pencemaran nama baik yaitu didasarkan pada kondisi sistem hukum indonesia yang mana seseorang dapat dituntut secara perdata dan pidana atas tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan, akibatnya dapat memberikan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang sedang berkonflik.
Adanya ketidak pastian hukum akibat dimungkinkanya penyelesaian melalui jalur perdata dan pidana ini dapat dilihat dari adanya pertenta32ngan vonis putusan pada aspek perdata dan pidana.hal ini tergambarkan dari kasus yang terjadi pada Prita Mulyasari dan RS.Omni dimana dalam putusan kasasi perdata, prita dinyatakan tidak terbukti dari dugaan pencemaran nama baik dan bebas dari kewajiban membayar denda kepada RS.Omni. sementara dalam putusan pidana, prita justru terbukti bersalah dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Oleh: La Ode Umar Alzamani (Sekretaris Bidang Hukum dan HAM DPD IMM DIY)