PRESS RELEASE DEWAN PIMPINAN DAERAH IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENGENAI KETENTUAN ABORSI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
Surat pernyataan ini disusun sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen bidang Immawati DPD IMM DIY terhadap penyelesaian masalah kekerasan seksual. Dalam menyusun surat pernyataan ini, kami telah mempertimbangkan berbagai aspek dan pandangan yang relevan, serta mendasarkan sikap kami pada prinsip-prinsip yang kami yakini. Kami memahami bahwa pernyataan ini memiliki dampak penting bagi pihak terkait, dan oleh karena itu, kami menyampaikan sikap kami dengan penuh kesadaran dan pertimbangan yang matang.
Bidang Immawati DPD IMM DIY menyambut dengan baik ketentuan aborsi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual atau TPKS yang menjadikan kehamilan tidak diinginkan. Ketentuan aborsi tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesahatan. Melalui aturan tersebut, bidang Immawati DPD IMM DIY berharap mampu mempercepat adanya pengadaan dan penguatan akses layanan dalam rangka memastikan pemenuhan hak pemulihan bagi korban perempuan.
Larangan aborsi di Indonesia harus dipahami dalam konteks perlindungan dan pemulihan bagi korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Meskipun aborsi dianggap sebagai tindak pidana dalam sistem hukum nasional, ada pengecualian yang diatur melalui peraturan pemerintah di bidang kesehatan. Pengecualian ini memungkinkan aborsi dalam kondisi tertentuyang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Kesehatan, khususnya dalam kasus kehamilan akibat kekerasan seksual, dan harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Peraturan ini memastikan bahwa aborsi hanya dilakukan dengan kriteria dan syarat yang ketat, serta sebagai bagian dari upaya hukum untuk melindungi korban TPKS.
UU No.1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan: “Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun (Pasal 463 Ayat 1). Ketentuan ini tidak berlakudalam hal perempuan merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis (Pasal 463 Ayat 2).
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 75 mengecualikan aborsi bagi kehamilan akibat perkosaan
UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengakui hak atas pemulihankesehatan dan penguatan psikologis (Pasal 70).
Ketentuan mengenai pengecualian aborsi diperkuat melalui UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang menegaskan kembali larangan melakukan aborsi, kecualidengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana (Pasal 60). Ketentuan lebih rinci mengenai pelaksanaan aborsi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan ini memberikan panduan lebih spesifik tentang prosedur, standar pelayanan, dan pelaporan aborsi yang dilakukan.
Ditinjau dari perspektif Islam, pemenuhan hak-hak anak sudah dimulai bahkan sejak janin belum jadi. Hak tumbuh kembang tersebut mencakup hak tumbuh kembang secara fisik dan secara ruhaniah. Di antara hak tersebut adalah hak untuk hidup dan tumbuh. Banyak riwayat yang menekankan pentingnya pemeliharaan hak hidup janin. Misalnya, perempuan yang ditunda pelaksanaan rajamnya karena sedang hamil. Rasulullah pun pernah menetapkan hukuman membayar dengan membebaskan seorang budak bagi seseorang yang melempari wanita hamil hingga menyebabkan keguguran. Hal tersebut menunjukkan pentingnya memelihara kehidupan janin.
Dalam Keputusan Muktamar Tarjih XXII di Malang Jawa Timur tahun 1989, Majelis Tarjih membagi aborsi secara sengaja (provocatus) menjadi dua: 1) abortus provocatus kriminalis atau aborsi yang dilakukan karena motif kriminal; 2) abortus provocatus medicinalis atau aborsi yang dilakukan karena alasan medis. Muktamar Tarjih tersebut menetapkan bahwa abortus provokatus kriminalis hukumnya haram, sementara abortus provokatus medicinalis hukumnya bolehkarena alasan darurat, yaitu adanya kekhawatiran atas keselamatan atau kesehatan ibu waktu mengandung dan melahirkan berdasarkan hasil konsultasi dengan para ahli yang bersangkutan.
Dalam Fikih Perlindungan Anak yang dibahas pada Musyawarah Nasional Tarjih XXX tahun 2018 disebutkan bahwa Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) karena korban perkosaan, boleh digugurkan, dengan syarat kehamilan tersebut akan berakibat buruk bagi si ibu maupun janin karena tekananpsikologis berat yang harus ditanggung oleh korban perkosaan. Pengguguran kandungan untuk KTD akibat perkosaan tidak termasuk dalam kategori abortus provokatus kriminalis, dengan syarat hasil dari rekomendasi para ahli yang bersangkutan dan dilakukan oleh pihak yang berwenang.
Para penyintas perkosaan, khususnya yang masih muda sering kali mengalami konsekuensi psikologis dan sosial yang parah. Memaksa mereka untuk melanjutkan kehamilan yang tidak diinginkan dapat memperburuk kesehatan mental mereka.
Oleh karenanya, akses terhadap layanan aborsi merupakan aspek penting dalam penyediaan layanan dan dukungan komprehensif bagi para penyintas perkosaan, sehingga mereka dapat membuat pilihan mengenai tubuh dan masa depan mereka sendiri. Sebaliknya, penolakan akses terhadap aborsi justru semakin menambah trauma dan tantangan yang korban hadapi. Dengan ini memastikan bahwa korban pemerkosaan mempunyai hak atas layanan aborsi sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan. Maka dengan ini, bidang Immawati DPD IMM DIY mendukung akses terhadap aborsi. Kami mengakui dan mampu mengatasi kebutuhan kompleks para penyintas, membantu meringankan trauma dan menjunjung hak asasi korban.
Bidang Immawati
Ketua Bidang: Iefone Shiflana Habiba
Sekretaris Bidang: Afkari Zulaiha Rahmadiani