Menyingkap Selubung Kebenaran

Oleh: Muhammad Ridha Basri*

Hari ini, informasi semakin mudah diakses dan berlimpah ruah. Namun fakta ini tidak berbanding lurus dengan kenyataan ruang publik yang masih sering gaduh. Terkuaknya informasi terkadang justru membuat kita saling menjauh. Sama-sama mengajukan kebenaran sebagai dalih. Padahal seharusnya kebenaran selalu membawa cerah dan teduh.

Sejak kecil, kita disuguhi tontonan tentang superhero, yang bertarung dan hancur berkeping demi sebuah kebenaran. Tidak peduli pada banyak korban bertumbangan. Bahkan jika itu harus mempertaruhkan separuh planet bumi, demi membela kebenaran yang diyakini. Menjadi keliru jika misi pertarungan klaim kebenaran dijadikan alat legitimasi untuk mencipta kerusakan.

Secara naluri, semua manusia cenderung menyukai kebenaran. Ingin selalu berada di pihak yang benar dan pemilik kebenaran. Tidak mau disalahkan atau divonis keliru terhadap apa yang dipikirkan, rasakan, dan lakukan. Sigmund Freud merumuskan konsep self defense meccanism yang menjelaskan tentang kecenderungan alamiah manusia untuk selalu membenarkan diri demi eksistensinya. Di hadapan pengadilan sekalipun, semua ingin berada di pihak yang benar dan membuktikan kesalahan pihak lain. Semua berhak mendaku dan memeluk kebenaran versinya masing-masing, di luar kebenaran yang universal.

Kebenaran di era pascakebenaran ini bukan lagi ditentukan oleh fakta objektif, empiris, rasional, dan seterusnya. Namun ditentukan oleh keyakinan dan rasa-merasa. Dikatakan benar jika sesuai dengan yang diyakini, pun sebaliknya. Jika tidak merasakan kedekatan secara emosional, sesuatu informasi akan diragukan dan disangkal. Informasi digunakan untuk melegitimasi keyakinan atau menyangkal apa yang sudah tertanam, bukan untuk mencari kebenaran.

Bahkan, berlimpahnya informasi justru menjadi pengabur kebenaran itu sendiri. Ketika ada kebenaran yang ingin ditutup-tutupi, tidak perlu bersusah payah untuk mengklarifikasi, memblokir, menutup, atau menarik informasi. Cukup dengan menggelontorkan informasi lain (yang mengaduk emosi massa) sebanyak-banyaknya, sampai kebenaran dan ketidakbenaran menjadi sulit dikenali. Sampai kebenaran tereduksi dan menjadi samar-samar dalam belantara informasi yang tiada henti saling timpa-menimpa. Gejala populisme politik tumbuh dalam suasana ini.

Orang hanya membaca, melihat, atau mencari informasi yang diinginkan, sembari melewatkan banyak berita yang dianggap tidak perlu. Orang hanya perlu menyakini sesuatu yang disukai dan membuatnya nyaman, sebagai kebenaran. Sebaliknya, membenci dan menjauh dari yang membuatnya tidak nyaman, sebagai ketidakbenaran. Lalu keyakinannya disebarluaskan, tanpa tanpa pertimbangan dampak baik dan manfaat bagi yang menerima.

Berbekal telepon pintar, kita merasa tahu segala informasi dan perkembangan dunia kapan saja dan di mana saja. Kita merasa tahu seisi semesta, padahal mungkin hanyalah pengetahuan semu. Gawai dengan dukungan alat kecerdasan buatan dengan kemampuan alogaritma yang semakin canggih, mampu membaca pola, memilah ideologi, dan kesukaan pengguna gawai. Sehingga hanya item tertentu yang direkomendasikan dan ditampilkan.

Pada akhirnya, kita terjebak pada satu gelembung informasi. Tidak lagi melihat kebenaran dalam perspektif orang lain dan hanya terkurung dalam satu bilik gema kebenaran atau epistemic bubble. Pada saat sekolah, kita diajarkan teori bilik gema, yang dicontohkan dengan orang yang berteriak ke arah sumur, maka suara itu akan memantul kembali dan itulah yang kita dengar. Media sosial bekerja dalam rumus echo chamber ini, kita hanya mendengar apa yang kita teriakkan.

Di era ketika kehidupan seolah saling terhubung dan berjejaring, sebenarnya hanyalah memperkuat individualisme dan kecintaan pada diri sendiri. Benda-benda pintar (artificial intelligence) pun tidak membuat penggunanya semakin pintar. Bahkan sebaliknya, bisa membuat penggunanya kehilangan akal sehat, lalu menyerahkan urusan berpikir dan mengambil keputusan pada benda pintar. Berbeda dengan manusia, robot dan mesin tidak memiliki nurani untuk menimbang nilai dan norma. Dia bekerja dengan pola pengulangan.

Pada awal mula kemunculannya, internet dan media sosial dipuja-puji sebagai ruang sosial baru yang diyakini mampu merekatkan kohesi. Namun kini, wadah itu menjadi lapangan terbuka pertarungan klaim kebenaran. Kebencian, caci maki, dan permusuhan diumbar. Dalam situasi ini, terkadang kita perlu jeda dan mengambil jarak untuk tidak terlalu ingin tahu dan mencampuri urusan orang lain, yang mungkin tidak selalu sama dengan selera dan kecenderungan kita. Tanpa kelapangan itu, maka akan selalu ada kegaduhan di media sosial yang berujung urusan saling lapor-melaporkan di kepolisian.

Di negara demokrasi, ruang-ruang semisal itu memang menjadi wadah untuk menyampaikan pendapat secara bebas. Semua orang berhak bersuara dan mengutarakan apa yang dipikirkan dan rasakan. Pucuk presiden hingga rakyat jelata merasa setara dan bisa saling berbalas komentar di media sosial. Pada saatnya, kultur demokrasi ini justru melahirkan manusia-manusia yang penuh percaya diri merasa paling tahu, paling pintar, paling otoritatif, paling kritis. Yang ada adalah pertarungan kebenaran versiku dan kebenaran versimu, adapun kebenaran itu sendiri belum tentu dapat dijangkau.

Kebenaran harus diterima dengan hati dan pikiran yang jernih. Filsuf Yunani, Parmenides menggunakan istilah Aletheia untuk melambangkan kebenaran. Aletheia merupakan dewi kebenaran, kejujuran, dan ketulusan. Dewi ini digambarkan membawa cermin bercahaya di tangan kanan dan buku di tangan kiri. Sebagai simbol bahwa pengetahuan yang benar itu laksana cahaya yang menerangi sekelilingnya dengan jujur dan tulus. Menerima kebenaran memang tidak mudah. Terkadang kita harus keluar dari ‘kenyamanan’ yang kita nikmati. Jika ego yang dikedepankan, maka kebenaran menjadi enggan berkawan karib. Kata Socrates, “Do not be angry with me, if I tell you the truth.”

Penggunaan akal harus lebih dioptimalkan. Manusia sebagai subjek rasional telah diberi seperangkat alat dan kemampuan mengenali kebenaran yang menjadi fitrahnya. Berpikir menjadi salah satu bukti eksistensi manusia, yang membedakannya dengan makhluk lain. Karena kemampuan bernalar, manusia diidentikkan sebagai homo sapiens.

Manusia dengan segala kompleksitasnya dibentuk oleh rangkaian peristiwa. Tugas kita adalah terus belajar dan memperluas horison pengalaman, yang akan membentuk kepribadian. Guna memperoleh kebenaran, kita harus meluaskan gelembung informasi dan masuk ke gelembung kebenaran yang mungkin berada di lingkaran orang lain.

Kita berharap banyak pada media mainstream. Media arus utama memiliki tanggung jawab untuk selalu berpijak pada kebenaran dan kepentingan publik. Bukan mengikuti arus atau menyenangkan segolongan publik yang sesuai kepentingannya. Bagi seorang jurnalis, mudah saja memberitakan ketidakbenaran demi sesuatu tujuan, namun pertanggungjawabannya tentu tidak ringan dan berjangka panjang.

Pada Desember 2018, majalah terkemuka Jerman, Der Speigel memberhentikan jurnalis peraih German Reporter Award 2018, Claas Relotius. Di balik pencapaian gemilang, sosok ini sering mengarang berita dengan narasumber serta data yang tidak sebenarnya. Kisah serupa digambarkan dalam film Shattered Glass (2013) tentang laku mengotori karya jurnalistik.

*Muhammad Ridha Basri, Ketua DPD IMM DIY Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan (RPK), Wartawan.

Sulaiman Said
Latest posts by Sulaiman Said (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *