Kurikulum Unggulan: Membentuk Kader Ulul Albab (5-habis)

10. Post-Truth dan Menjadi Bijak di Media Sosial

Menurut sejarawan Universitas Hebrew Yerussalem Yuval Noah Harari, homo sapiens merupakan spesies pasca-kebenaran. “Kekuatannya bergantung pada mencipta dan percaya fiksi.” Dengan bakatnya untuk percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal, manusia mengalami dilema.

Potensi ini dimanfaatkan oleh yang berkepentingan untuk mengendalikan massa supaya berpihak pada kepentingannya, maka digunakanlah mitos, dongeng, dan propaganda.

Manusia sebagai subjek rasional telah diberi seperangkat kemampuan untuk mengenali kebenaran. Berpikir menjadi salah satu bukti eksistensi manusia, yang membedakannya dengan makhluk yang lain.

Pada kondisi normal, pihak berkepentingan akan menutup rapat informasi kebenaran: membredel media dan membatasi pemberitaan. Pada masa pasca kebenaran, justru sebaliknya. Cara untuk mengaburkan suatu informasi yang sebenarnya adalah dengan menggelontorkan informasi sebanyak-banyaknya sampai publik bingung dan sulit membedakan antara yang benar dan yang fiksi.

Dalam masyarakat pasca-kebenaran, fakta-fakta objektif dikalahkan oleh faktor kecenderungan emosional dan keyakinan pribadi. Sebuah informasi tidak lagi ditelisik tentang fakta, data, dan konteks yang sebenar-benarnya. Nilai kebenaran terhadap informasi ditentukan oleh rasa-merasa.

Apabila suatu informasi disampaikan oleh orang yang dekat secara emosional atau sesuai dengan kriteria pribadi, maka akan langsung dianggap benar. Sebaliknya, jika informasi itu datangnya dari orang yang tidak sesuai dengan keyakinan pribadi dan tidak disukai, maka informasi yang disampaikan pun akan dianggap tidak punya nilai kebenaran.

Kebutuhan manusia kepada informasi bukan lagi untuk mencari kebenaran. Informasi dibutuhkan untuk membenarkan/menguatkan yang sudah diketahui serta untuk menambah rasa kenyamanan dan kebanggaan diri. Demikian sebaliknya.

Sigmund Freud memiliki teori tentang self-defense mechanism. Yaitu kebutuhan alamiah manusia untuk merasa benar dan tidak merasa salah. Di era pasca kebenaran ini, supaya merasa benar, manusia hanya perlu mempercayai dan menyukai apa yang memang disukai.

Sebaliknya, supaya tidak disalahkan, manusia hanya perlu membenci apa yang memang tidak disukai dan mengusik kenyamanan.

Pemikir post-strukturalisme Jean Baudrillard memperkenalkan konsep dunia simulasi. Menggambarkan tentang tampilan sarat rekayasa dan bercitra indah yang dihadirkan di pentas seolah nyata. Dalam dunia simulasi berlaku hukum simulacra, berupa daur ulang objek dan peristiwa.

Objek atau peristiwa itu diperagakan seakan mencerminkan realitas aslinya, tetapi sesungguhnya maya. Apa yang ditampilkan di atas pentas atau layar utama, ternyata jauh berbeda dengan apa yang terjadi di balik layar. Dalam hal ini, memahami pola hubungan atau sosiogram menjadi penting.

Berulang kali, polisi menangkap kelompok pembuat berita palsu dan ujaran kebencian. Sindikat ini memanfaatkan kondisi era pasca kebenaran. Lemahnya pengawasan terhadap media daring ikut memuluskan langkah mereka untuk membuka jasa pembuatan berita palsu dan ujaran kebencian bagi konsumen yang berkepentingan menggiring opini publik.

Situs media daring bisa mendapatkan pemasukan yang besar melalui layanan iklan Google AdSense yang dipasang di situs tersebut. Bisnis haram ini juga dilakukan melalui akun media sosial yang dikelola oleh buzzer. Buzzer menjadi salah satu profesi baru di era digital dengan iming bayaran yang tinggi.

Pelakunya adalah mereka yang berpendidikan dan paham isu yang akan dimainkan. Dalam mempengaruhi opini dan emosi massa, para buzzer menggunakan cara positive campaign, negative campaign, hingga black propaganda.

Ruang publik pun menjadi kumuh oleh berbagai perdebatan tidak bermutu. Antara informasi yang benar dan salah, menjadi kabur. Terlebih ketika kebohongan terus diulang, suatu saat akan dianggap sebagai kebenaran. Sementara itu, internet menjadi alat yang memperbesar bibit pertentangan.

Dengan kemampuan algoritmanya, masyarakat dunia maya akan dikurung dalam sebuah bilik gema sesuai dengan kesamaan tertentu.

Yasraf Amir Piliang dalam Dunia yang Berlari (2017) menyebut bahwa di era dunia digital, manusia terserap ke dalam arus melimpahruahnya informasi dan irama dunia digital yang terus berlari tanpa henti, tanpa interupsi. Kesadaran manusia terserap dalam dunia citra yang tak lagi menyisakan ruang bagi nilai dan nafas-nafas ketuhanan, bagi makna mendalam, bagi perenungan.

Mereka dipaksa untuk terus bergerak dalam kegilaan untuk berubah, berganti (gaya, selera, citra, trend, gaya hidup), berpindah posisi dan kedudukan (popularitas, status sosial, prestige), menyalurkan dorongan hasrat (kekuasaan, kekayaan, popularitas).

Generasi yang kerap disebut hidup di era masyarakat jejaring sebenarnya justru memperkuat semangat individualisme dan kecintaan pada diri sendiri. Banyaknya teman di Facebook, Twitter, Instagram, Google+, WhatsApp, tidak serta merta menambah kualitas pertemanan dan solidaritas.

Kesepian membawa mereka untuk mengejar teman di media sosial. Sembari menghilangkan esensi dari pertemanan itu sendiri; kedekatan, keakraban, solidaritas, kebersamaan.

Diskusi tentang dinamika media sosial, apa yang bisa dilakukan di media sosial? Bagaimana melahirkan influencer dari kalangan IMM? Bagaimana kebenaran dikonstruksi di masa sekarang, bagaimana kehidupan kita di tengah dunia simulakra yang banyak kepalsuan?

Bisa dijadikan rujukan:
1. Fikih Informasi (2019) karya Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
2. Dunia yang Berlari (2017) karya Yasraf Amir Piliang
3. Matinya Kepakaran (2018) karya Tom Nichols
4. Artikel Haedar Nashir berjudul “Paradoks Dunia Simulacra” di Republika

11. Revolusi 4.0 dan Dampaknya

Selamat datang Revolusi Industri Keempat! Kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan realitas maya merupakan pilar utama peradaban modern. Dunia berubah cepat dan mendisrupsi banyak hal. Membagi masyarakat sebagai pemenang dan pesakitan peradaban.

Pemenang adalah mereka yang memegang kendali big data. Dan hampir semuanya anak muda. Segelintir orang menentukan perubahan dunia.

Era baru teknologi informasi telah melahirkan masyarakat virtual. Sebuah perubahan dari citizenship ke netizenship. Inilah dunia maya yang sekaligus nyata, sebagai realitas buatan yang meninabobo. Riset PPIM UIN Jakarta menemukan fakta bahwa generasi Z menghabiskan waktu 3-5 jam untuk berselancar di dunia digital.

Saat ini, hampir semua orang memiliki telepon pintar. Benda ini memang pintar. Dengan kapasitas otak buatan tersebut, benda pintar ini telah mampu membaca rumus logaritma, berpikir, dan mengambil keputusan. Manusia sering kehilangan jati dirinya dan bahkan menyerahkan urusan berpikir pada benda pintar.

Manusia terlalu jauh mengawini gawainya. Bukan lagi sebagai alat, manusia bahkan hidup bersama dan tergantung penuh padanya. Manusia sebagai homo ludens dan homo sapiens ikut bermain dan berpikir bersama dengan telepon pintar.

Sampai-sampai, kata F Budi Hardiman, manusia mulai sulit membedakan antara yang dipikirkannya dengan yang dipikirkan oleh telepon pintar.

Dengan dilengkapi kecerdasan buatan (artificial intelligence), benda pintar sudah bisa memproduksi informasi secara mandiri. Noam Lemelshtrich Latar menulis buku Robot Jurnalism: can human jurnalism survive? (2018), menggambarkan tentang kemampuan dari mesin yang telah digunakan banyak perusahaan media.

Diskusi tentang perubahan dunia yang begitu cepat, dari revolusi pertama sampai keempat, dimana posisi kita? Menyambut revolusi industri 5.0, apa yang perlu disiapkan?

Bisa dijadikan rujukan:
1. 21 Lessons for the 21st Century (2018) Yuval Noah Harari
2. Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang Di Era Disrupsi 4.0 (2019) karya Astrid Savitri

12. Teologi Lingkungan

Ada sebuah ungkapan terkenal di kalangan Suku Indian: “Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, sungai terakhir telah mengering, manusia baru sadar bahwa uang tak bisa dimakan.”

Dulu, aliran mata air alami yang menganak sungai merupakan sumber air yang gratis, yang disediakan Tuhan untuk diminum dan dinikmati siapa saja. Hari ini, air sungai sudah banyak tercemar dan tidak bisa langsung diminum. Beberapa mata air yang tersisa justru diprivatisasi oleh kekuatan kapitalis. Air kini menjadi barang yang bernilai rupiah.

Kita perlu sadar bahwa alam semesta perlu dijaga kelestariannya. Jika tidak, mungkin suatu saat kita sudah tidak bisa lagi menikmati udara secara gratis. Karena tingkat polusi yang semakin parah, mungkin suatu saat nasib udara sama dengan air.

Kita harus mengeluarkan uang untuk bisa mendapatkan udara bersih, yang sebenarnya karunia Tuhan untuk semua.

Memahami konsep ekoteologi menjadi penting. Bahkan, jika tauhid dianggap sebagai wujud ketundukan kepada Tuhan, maka merusak lingkungan bisa dikatakan sebagai perbuatan melawan Tuhan. Lawan dari tauhid adalah kafir, yang berasal dari kata kufr (artinnya: menutup, to cover).

Ketika mengingkari nikmat, maka itu sama artinya kita menutup diri atau menjauh dari Tuhan.

Al-Qur’an menginformasikan bahwa kerusakan alam semesta disebabkan oleh tangan manusia (QS. Al-A’raf: 56). Limbah yang bermasalah merupakan salah satu bentuk upaya pengrusakan alam atau tindakan fasad fil ardh. Padahal, relasi antara manusia dan alam semesta bukan dalam relasi subjek dan objek.

Namun relasi hubungan yang setara dan dibingkai oleh kebersamaan dan ketundukan kepada Allah.

Bisa dijadikan rujukan:
1. Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam (2011) karya Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah dan Kementerian Lingkungan Hidup
2. Fikih Air Perspektif Muhammadiyah karya Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
3. Fikih Kebencanaan karya Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Sulaiman Said
Latest posts by Sulaiman Said (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *