Kurikulum Unggulan: Membentuk Kader Ulul Albab (3)

5. Memahami Ideologi Muhammadiyah

Sebagian kader belum bisa membedakan antara manhaj Muhammadiyah dan manhaj gerakan lainnya.

Manhaj gerakan Muhammadiyah merupakan seperangkat pokok pikiran dan gagasan yang tersistematisasi sebagai sistem keyakinan, pemikiran, dan tindakan. Disebut sebagai manhaj karena merupakan sistematisasi dari pandangan atau perspektif tertentu yang landasan dan pusat orientasinya berangkat dari ajaran Islam, untuk diaktualisasikan dalam kehidupan melalui kelembagaan. Manhaj ini berisi prinsip-prinsip ideal serta cara untuk mewujudkannya dalam kehidupan yang dihadapi Muhammadiyah (Haedar Nashir, pengantar Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2009).

Konstruksi pemikiran manhaj ideologi Muhammadiyah digali dari pikiran pendirinya, KH Ahmad Dahlan, dan terus disempurnakan pada periode berikutnya. Sehingga pandangan Islam Kiai Dahlan tidak hanya terinternalisasi dalam kesadaran individu, namun juga terinstitusionalisasi atau terlembaga ke dalam kehidupan kolektif.

Pada 1927, Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih, sebuah lembaga yang bertujuan untuk menggali dan merekonstruksi paham keagamaan. Setahun kemudian, Muhammadiyah merintis rumusan al-masail al-khamsah yang disempurnakan pada tahun 1954/1955. Lima pandangan mendasar tentang ajaran Islam dalam pandangan Muhammadiyah ini berupa konsep mendasar tentang: agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas (ijtihad).

Tahun 1946, dirumuskan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang memunculkan diksi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tahun 1969, lahir Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Pada aspek strategi perjuangan, dirumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1969, 1971, 1978, dan 2002.

Pemikiran resmi lainnya yang bersifat ideologis berupa: Dua Belas Langkah Muhammadiyah (1938), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005), dan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010).

Pada muktamar 2015, Muhammadiyah menerbitkan tiga dokumen penting: (1) Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa al-Syahadah, (2) Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna, (3) Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.

Ideologi reformis Muhammadiyah juga terkandung dalam produk pemikiran kelembagaan lainnya, semisal hasil Musyawarah Nasional Tarjih tentang manhaj tarjih dan paradigma tajdid, konsep Dakwah Kultural, Keluarga Sakinah, serta Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah.

Diskusi tentang ideologi Muhammadiyah dalam tataran praksis bermasyarakat, bagaimana Muhammadiyah bersikap sesuai ideologinya dalam situasi sosial-politik tertentu?

Bisa dijadikan rujukan:
1. Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Ideologi, Khittah, dan Langkah (2009) karya PP Muhammadiyah
2. Memahami Ideologi Muhammadiyah (2014) karya Haedar Nashir
3. 1 Abad Muhammadiyah, Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010) karya Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah

6. Wawasan Keindonesiaan

Tak kenal, maka tak sayang. Peribahasa ini bisa mengenai anak bangsa yang tidak benar-benar sayang pada negerinya. Atau tentang mereka yang kerap mengumbar sederet kata cinta, namun tak paham akan objek yang dicintai. Sayang tanpa didahului pengenalan yang intim, mungkin hanyalah cinta yang palsu. Cinta sejati ditandai dengan intimasi. Cinta tanah air harus berupa cinta yang tidak amnesia pada sejarah.

Haedar Nashir dalam buku Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologis (2019), menyatakan bahwa Indonesia merupakan anugerah terbesar, yang kemerdekaanya diraih atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Negara dengan gugusan kepulauan ini laksana sekeping surga yang diturunkan ke dunia. Tanah zamrud khatulistiwa yang subur ini dihuni penduduk dan makhluk lainnya yang menjemuk. Mereka hidup berdampingan secara damai (hlm 173).

Kita semua mencintai Indonesia. Namun, ekspresi cinta itu tidak satu warna. Mungkin ada yang suka menggebu-gebu gemar berslogan heroik, demi hasrat tahta dan harta, namun cintanya palsu. Setiap hari lantang menggelorakan cinta NKRI, namun pada saat yang sama justru menyelinap ke seluruh relung negeri mengejar keuntungan pribadi secara politik, ekonomi, dan akses pamrih lainnya dengan serakah.

“Sebuah negara terbentuk bukan semata karena kekuasaan, tetapi bersatunya secara integral seluruh kekuatan masyarakat dalam entitas bangsa, ujar Spinoza. Para pendiri bangsa berbulan-bulan membahas dan berdebat secara mendalam seputar dasar negara dari Indonesia yang akan didirikan, bersambung beberapa tahun hingga puncaknya di sidang Konstituante. Meski sering berbeda pandangan secara tajam, para tokoh bangsa itu isi kepala dan hatinya luar biasa kaya dengan pemikiran dan kearifan, sehingga menjadi sosok-sosok negarawan yang adiluhung.” (Haedar Nashir, “Indonesia Hitam-Putih” dalam Republika, 13 Agustus 2017)

Indonesia dibangun dengan fondasi pemikiran yang kokoh dan bermuara pada weltanschauung atau pandangan hidup yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara dan agama. Pandangan itu menjiwai nilai Pancasila serta tertanam kuat dalam ruhani bangsa Indonesia sejak lama.

“Penampakan lahiriah suatu peradaban merupakan pancaran batin jiwa budaya. Manakala kita saksikan kehidupan bangsa menampakkan arus besar pertikaian, sinisme, ketidakpercayaan, kesenjangan, ketidakadilan, korupsi, dan kedangkalan kerumunan, hal itu menandakan terjadinya perubahan besar dalam jiwa budaya kita. Jiwa budaya bangsa Indonesia yang diimpikan berjiwa Pancasila: jiwa welas asih yang memancarkan semangat musyawarah, gotong royong, tolong-menolong,” (Yudi Latif, dalam Kompas, 20 Juni 2019).

Diskusi tentang pembentukan bangsa dan falsafah bersama yang menjadi landasan bernegara, bagaimana sikap kita sebagai warga negara?

Bisa dijadikan rujukan:
1. Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologis (2019) karya Haedar Nashir
2. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011) karya Yudi Latif
3. Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah (2015) karya PP Muhammadiyah
4. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, sebuah refleksi sejarah (2009) karya Ahmad Syafii Maarif

Sulaiman Said
Latest posts by Sulaiman Said (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *