Kurikulum Unggulan: Membentuk Kader Ulul Albab (2)

3. Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial

Kuntowijoyo dalam Islam sebagai Ilmu (2006), menyebutkan dua jenis gerakan: intelektual dan politik. Gerakan intelektual laksana menanam jati: membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan hasil. Namun, buah dan umurnya berusia panjang.

Sementara gerakan politik, seperti pisang: cepat tumbuh dan berbuah. Hanya perlu menemukan momentum untuk menanam, musiman, tanpa harus dirawat serius. Buahnya dituai dalam waktu singkat, dan umurnya tidak bertahan lama.

Muhammadiyah berjuang menanam jati di ranah kultural, mendidik masyarakat madani. Tidak memilih jalur perjuangan politik praktis yang sifatnya musiman dan berorientasi jangka pendek.

Benjamin Disraeli, mantan Perdana Menteri Inggris pernah mengatakan: hampir semua hal besar di dunia ini telah dilakukan oleh pemuda. Sepanjang peradaban manusia, gagasan dan perubahan besar kerap lahir dari sosok pemuda. Mereka di usia muda, memiliki potensi yang tidak biasa. Penyanyi Rhoma Irama dalam lagu “Darah Muda” menyebut masa muda adalah masa yang berapi-api.

Kekurangan pemuda hanyalah dalam hal pengalaman. Asalkan diberi kepercayaan dan diarahkan secara tepat, mereka akan bisa menghasilkan karya yang menakjubkan. Sebaliknya, ketika energi yang membara ini tidak bisa dikelola dengan baik, maka penyalurannya bisa menjalar ke arah negatif, bahkan sampai menggadaikan idealisme.

Kita menemui banyak sekali komunitas anak muda yang melakukan karya luar biasa. Mereka turun tangan bergerak bersama dengan penuh gembira.

“Generasi milenial itu everyone has a hero inside. Milenial ingin menjadi hero, ingin mengubah dunia (berkonstribusi) dengan cara mereka,” tutur Irfan Amalee, penggagas Peace Generation yang juga anggota MPI PP Muhammadiyah. Perubahan zaman telah mengubah banyak hal, termasuk dalam pola berpikir dan berperilaku. Jika gerakan pemuda tidak ingin terlindas, maka berbenah adalah kunci.

Diskusi tentang gerakan mahasiswa kontemporer dan bagaimana dengan IMM?

Bisa dijadikan rujukan:
1. Bangkitlah Gerakan Mahasiswa (2015) karya Eko Prasetyo
2. Muslim tanpa Masjid (2001) karya Kuntowijoyo

4. Islam Normatif dan Islam Historis

Secara sosio-antropologis, Islam lahir dalam lingkungan masyarakat Arab Jahiliyah. Jahiliyah kerap diidentikkan dengan sikap peluruhan moral. Mereka memiliki tradisi perang antarsuku: memperebutkan sumber air, padang rumput, mempertahankan supremasi suku, dst. Tradisi perang ini tidak berhenti meski berbagai agama lahir di situ: Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Nabi Muhammad diutus untuk mengubah masyarakat yang rusak dengan membawa Al-Qur’an. Semangat utama Al-Qur’an adalah semangat moral. Perhatian utama Al-Qur’an adalah manusia dan perbaikan akhlaknya.

Nabi Muhammad dengan statusnya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, berjuang menyampaikan risalah guna mengubah peradaban jahiliah menjadi cerah. Dengan pendekatan dakwah: bil hikmah, mau’idhah hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan.

Di Madinah, Nabi berhasil membangun sebuah peradaban baru berdasarkan nilai Qur’ani. Namun tak bertahan lama sepeninggalnya, perpecahan terjadi. Idealisme Qur’an pun ikut tertutupi oleh nafsu pragmatis dan ragam kepentingan politis. Masih banyak yang membaca dan menghafal Al-Qur’an, tetapi tidak membawa dampak nyata bagi terwujudnya kehidupan yang baik.

Pada masa selanjutnya, Islam terkodifikasi, melahirkan ragam mazhab teologi, fikih, dan tasawuf. Masing-masing mengaku sebagai yang paling mewakili wajah Islam yang autentik.

Adagium Al-Qur’an shalih likulli zaman wa makan, tidak tampak wujudnya. Mengapa? Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), menyatakan bahwa Al-Qur’an yang diyakini sebagai firman Allah, telah disalahtafsirkan sejak masa keemasan Islam. Al-Qur’an hanya ditafsirkan penggalan ayat per ayat, yang terpisah dari konteks sosial dan historisnya, serta mengabaikan visi etis dan moral Al-Qur’an yang utuh dan terpadu.

Penafsiran secara parsial telah menjauhkan kita dari pemahaman tentang misi utama dan nilai dasar yang menjadi inti Al-Qur’an, semisal: tauhid, takwa, kasih sayang, kebaikan, kebenaran, keadilan, persaudaraan.

Pada akhir abad ke-19, para pembaharu menggaungkan kembali jargon al-ruju ila al-qur’an wa al-sunnah, dengan jalan membuka lebar pintu ijtihad. Mereka resah dengan kemunduran umat yang disebabkan oleh karena meninggalkan ajaran Islam yang otentik, sehingga keagungan Islam tertutupi oleh perilaku pemeluknya.

Al-Afghani dan Muhammad Abduh termasuk dalam barisan yang mencoba melakukan peninjauan ulang terhadap tafsir Al-Qur’an. Menurut Abdullah Saeed (2014), para pembaru menyadari bahwa agama yang sumber pokoknya Al-Qur’an, harus ditafsirkan sesuai perkembangan akal manusia.

Diskusi tentang dinamika dan pergulatan Islam, dari semenjak Nabi Muhammad sampai kepada kita, bagaimana merajut ukhwah di dalam ragam ekspresi Islam?

Bisa dijadikan rujukan:
1. Studi agama: Normativitas atau Historisitas? (1996) karya M. Amin Abdullah
2. Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban (2017) karya Fazlur Rahman
3. Sejarah Tuhan (2010) karya Karen Armstrong
4. Islam Syariat (2013) karya Haedar Nashir

Sulaiman Said
Latest posts by Sulaiman Said (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *