“Apabila pemimpin-pemimpin Negara dan para ulama itu baik maka baiklah alam, dan apabila pemimpin-pemimpin Negara dan para ulama itu rusak, maka rysaklah alam dan Negara (masyarakat dan Negara)”
KH. Ahmad Dahlan
Deklarasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus melalui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia1945 bukanlah sesuatu instan atau pemberian/hadiah melainkan kemerdekaan itu diperoleh melalui proses perjalanan perjuangan yang panjang. Perjalanan tersebut dapat kita lihat dari sederet peristiwa diantaranya:
Pertama, terbentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 April 1945 dan anggota BPUPKI tersebut dilantik tanggal 28 Mei 1945. Ketua BPUPKI adalah dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat. Anggota BPUPKI sebanyak 62 orang. Komposisi BPUPKI menempatkan kelompok nasionalis-sekular sebagai pihak dominan. Pihak yang kurang terwakili adalah pulau-pulau luar Jawa, kaum Marxist berorientasi Barat dan kaum nasionalis-muslim. Hanya sebelas orang yang mewakili kelompok Islam. Diantaranya yang Muhammadiyah adalah Mas Mansur (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1936–1942), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1942–1953), Mr, Kasman Singadimejo dan Abdul Kahar Muzakir.
Kedua, BPUPKI menggelar sidang pertama pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Tanggal 1 Juni 1945 untuk pertama kalinya Ir. Soekarno sebagai anggota BPUPKI memperkenalkan istilah Pancasila sebagai dasar negara di depan sidang BPUPKI. Dalam pidato tersebut Pancasila oleh Soekarno disebut sebagai philosofische grondslag yaitu “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.” Pembicaraan dalam BPUPKI mengenai dasar negara Indonesia yang akan merdeka memunculkan tiga konsep: Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi. Yang dominan diperdebatkan dalam BPUPKI adalah Islam dan Pancasila. Perdebatan ideologis ini merupakan repetisi perdebatan lama sejak era Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20. Yakni perdebatan antara Marxis, Muslim dan Developmentalis (pemikiran lintas disiplin yang menjadikan pembangunan sebuah strategi utama menuju kemakmuran ekonomi). Perdebatan dan ketegangan lebih pada menyangkut relasi Islam dan negara, perdebatannya mempunyai pola yang sama dengan perdebatan beberapa dasawarsa sebelumnya. Kelompok muslim berpendapat Indonesia harus menjadi negara Islam atau Islam harus menjadi dasar negara. Kelompok developmentalis berpendapat bahwa agama harus dipisahkan dengan persoalan Negara, Pihak nasionalis-sekular berpendapat bahwa negara harus netral terhadap agama sebagaimana lima asas versi Yamin dan Soekarno. Pihak Islam berpendapat bahwa Islam sebagai dasar negara.
Ketiga, konsepsi Ki Bagus Hadikusumo. Dalam konteks demikian, menarik dicermati konsepsi yang diajukan oleh Ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 yang mengajukan konsep tentang “membangun negara di atas dasar ajaran Islam”. Alasan beliau adalah :
Satu, Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara Indonesia ini.
Dua, umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita luhur dan mulia sejak dahulu hingga masa yang akan datang, yaitu di mana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan membangun negara atau menyusun masyarakat yang berdasarkan atas hukum Allah dan agama Islam.
Tiga, Islam setidaknya telah enam abad hidup dalam masyarakat Indonesia, atau tiga abad sebelum datangnya kolonial Belanda. Sehingga ajaran dan hukum Islam telah inheren dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bahkan banyak aspek hukum Islam telah bertransformasi menjadi adat istiadat di banyak suku bangsa Indonesia.
Empat, realitas sejarah dimana gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda di berbagai wilayah Indonesia hampir selalu dipimpin tokoh-tokoh Islam, seperti Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, dan lain lain yang mendasarkan perjuangannya atas ajaran Islam.
Lima, Islam tidak hanya mengatur masalah ritual, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebagai satu kesatuan yang utuh.
Sampai akhir sidang pertama, BPUPKI tidak menghasilkan kesepakatan. Lalu BPUPKI dibubarkan dan dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan PPKI membentuk panitia sembilan : Ir. Soekarno; Drs. Mohammad Hatta; Mr. A.A. Maramis; Abikoesno Tjokrosoejoso; Abdoel Kahar Moezakir; H. Agoes Salim; Mr. Achmad Soebardjo; Wahid Hasjim; Mr. Moehammad Yamin.
Tugas panitia 9 adalah merumuskan naskah teks proklamasi kemerdekaan, namun akhirnya naskah tersebut dijadikan Pembukaan dalam UUD 1945. Dokumen politik inilah yang oleh Mohamad Yamin dua minggu kemudian disebut “Piagam Jakarta”. Tugas Panitia 9 lainnya adalah merumuskan gagasan-gagasan tentang dasar-dasar negara yang dilontarkan oleh 3 pembicara pada sidang pertama yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Piagam Jakarta yang merupakan dokumen politik, terbentuk pada tanggal 22 Juni 1945.
Kedudukan Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi wa Syahadah
Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar menetapkan pandangan Muhammadiyah tentang Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia; secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam dan dapat diisi serta diaktualisasikan menuju kehidupan yang dicita-citakan umat Islam yaitu Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara Pancasila yang mengandung jiwa, pikiran, dan citacita luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu dapat diaktualisasikan sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur yang berperikehidupan maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT.
Bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar alsyahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar alsalam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT. Pandangan kebangsaan tersebut sejalan dengan cita-cita Islam tentang negara idaman “Baldatun Thayyiabtun Wa Rabbun Ghafur”, yaitu suatu negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah.
Negara ideal itu diberkahi Allah karena penduduknya beriman dan bertaqwa (QS Al-A’raf: 96), beribadah dan memakmurkannya (QS Adz-Dzariyat: 56; Hud: 61), menjalankan fungsi kekhalifahan dan tidak membuat kerusakan di dalamnya (QS Al-Baqarah: 11, 30), memiliki relasi hubungan dengan Allah (habluminallah) dan dengan sesama (habluminannas) yang harmonis (QS Ali Imran: 112), mengembangkan pergaulan antarkomponen bangsa dan kemanusiaan yang setara dan berkualitas taqwa (QS Al-Hujarat: 13), serta menjadi bangsa unggulan bermartabat khyaira ummah (QS Ali Imran: 110). Negara Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim tersebut dalam konteks keislaman dan keindonesiaan harus terus dibangun menjadi Negara Pancasila yang Islami dan berkemajuan menuju peradaban utama bagi seluruh rakyat.
Pandangan tersebut adalah pandangan khas gerakan Islam modernis-reformis seperti Muhammadiyah. Perspektif modernis-reformis yang dikembangkan Muhammadiyah memahami bahwa Islam mengandung nilai-nilai ajaran tentang politik, ekonomi, dan lain-lain yang bersifat nilai pokok, etika/akhlaq yang perwujudannya diserahkan ijtihad ummat.
Dengan teori darul ‘ahdi wa syahadah, maka Muhammadiyah melihat bahwa Indonesia merupakan negara sebagai hasil konsensus dari sekian komponen kemajemukan bangsa Indonesia sekaligus negara tempat pembuktian serta kesaksian. Bumi Indonesia merupakan tempat kita membuktikan bahwa kita mampu mencapai tujuan nasional dan membuktikan bahwa kita mampu mengaktualisasikan sila-sila yang ada dalam 5 sila Pancasila. Selain itu, juga sebagai tempat kita bersaksi bahwa kita mampu membuktikan operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di segala bidang. Apakah itu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Dengan memandang Indonesia sebagai darul ‘ahdi wa syahadah, maka Muhammadiyah menegaskan bahwa Indonesia bukan darul Islam, bukan darul harb, bukan darul kufri dan juga bukan negara sekuler. Tiada lain tiada bukan, dengan darul ‘ahdi wa syahadah Muhammadiyah ingin menekankan bahwa Indonesia adalah darussalam, negeri yang damai. Dengan inilah, Indonesia akan bisa menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah).
Dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara nilai-nilai Pancasila belum banyak diimplementasikan sehingga penyelenggaraan pemerintahan masih diwarnai penyimpangan antara lain terlihat dari maraknya praktek-praktek korupsi, kekerasan, skandal moral, friksi-friksi dalam masyarakat, eksploitasi sumberdaya alam secara tak bertanggungjawab, kemiskinan, dan belum terwujudnya pemerataan atas hasil pembangunan nasional. Sebagian elite dan warga menunjukkan perilaku ajimumpung, menerabas, serta mengedepankan kepentingan diri dan kroni yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Sementara kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budaya cenderung serbaliberal. Pancasila dengan lima silanya yang luhur itu harus ditransformasikan ke dalam seluruh sistem kehidupan nasional sehingga terwujud Indonesia sebagai bangsa dan negara yang benar-benar Berketuhanan Yang Maha Esa, Berperikamanusiaan yang adil dan beradab, Berpersatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila harus diberi pemaknaan nilai dan aktualisasi secara terbuka dan dinamis sehingga dapat menjadi rujukan dan panduan yang mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dakwah Siyasah Muhammadiyah
Politik dalam bahasa arab biasa disebut dengan siyasah. Siyasah berasal dari kata assasa yang berarti dasar-dasar atau pondasi. siyasah adalah pengaturan urusan-urusan masalah dalam dan luar negeri
Keterlibatan Persyarikatan Muhammadiyah untuk membangun kehidupan keumatan dan kebangsaan sebagaimana tujuan Muhammadiyah yaitu “Menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sewbenar-benarnya” Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, berarti masyarakat yang mempunyai kualitas yang baik, yaitu kualitas yang dibina oleh ajaran Islam, masyarakat yang berprikemanusiaan, masyarakat yang mengabdi kepada Allah SWT, masyarakat yang memiliki pertalian dengan Allah dan sesama manusia, masyarakat di mana keutamaan, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan luas merata dan secara umum dapat digambarkan sebagai “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.”
Politik Muhammadiyah yaitu mengambil sikap tegas pro umat atas berbagai situasi yang berkembang cepat. Karakter pembaharuan (tajdid) seyogyanya tidak cuma diterapkan dalam ubudiyah dan amaliyah agama saja, namun juga diaplikasikan dalam strategi besar dakwah siyasah.
Politik adalah kunci. Karena kebijakan publik tergantung kepada para pemenang politik. Bahwa pilar utama di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi harus diutamakan adalah benar, namun jika kader-kader Muhammadiyah memiliki kecenderungan untuk menjauhi politik, maka akan dikemanakan aspirasi arus bawah umat? Justru politik yang harus dilakukan adalah politik kebangsaan sekaligus politik keumatan, bukan politik kepartaian yang hanya dapat memecah belah internal Muhammadiyah.Karena itu Pilihan Politik Muhammadiyah adalah: Menjaga Jarak yang Sama serta menjaga kedekatan dengan Semua Partai Politik serta Mendirikan Amal Usaha Politik Muhammadiyah.
Keberadaan Amal Usaha Politik Muhammadiyah sangat dibutuhkan pada era saat ini, dimana maraknya praktek-praktek korupsi, kekerasan, skandal moral, friksi-friksi dalam masyarakat, eksploitasi sumberdaya alam secara tak bertanggungjawab, kemiskinan, dan belum terwujudnya pemerataan atas hasil pembangunan nasional. Sebagian elite dan warga menunjukkan perilaku ajimumpung, menerabas, serta mengedepankan kepentingan diri dan kroni yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan Negara. Dengan adanya Amal Usaha Politik Muhammadiyah diharapkan lahirnya kader-kader politik Muhammadiyah yang memiliki kepekaan politik atas kebijakan-kebijakan negara yang merugikan masyarakat, serta dapat melahirkan kader-kader persyarikatan yang memiliki kemampuan kompetitif dalam mengisi posisi-posisi kekuasaan negara pada lembaga eksekutif, legeslatif, yudikatif maupun lembaga-lembaga negara lainnya.
*,
- Muhammadiyah, IMM, dan Gerakan Keilmuan - January 8, 2021
- Filsafat Pendidikan Kritis* - January 8, 2021
- Gethok Tular - January 8, 2021