*Disarikan dari penyampain materi Immawati Tati saat FGD Instruktur IMM DIY, Instruktur Madya IMM DIY dan Kabid Immawati DPD IMM DIY
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merupakan organisasi kader yang bertujuan untuk mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Dalam prosesnya, kaderisasi dilakukan melalui pendidikan yang dikembangkan ke dalam beberapa pelatihan, program, Darul Arqom, Baitul Arqom, dan lain sebagainya sebagaimana tujuan perkaderan.
Pendidikan tersebut dilakukan secara sadar, artinya terdapat landasan dasar, konsep, strategi, pendekatan, perangkat, pendidik, dan tujuan pendidikan.
Sedangkan instruktur adalah kader inti yang dipersiapkan secara khusus untuk mengelola perkaderan. Oleh karena itu, penting bagi instruktur untuk mengetahui paradigma pendidikan yang sesuai dengan identitas IMM dan tujuan Muhammadiyah. Paradigma bertujuan untuk menyamakan persepsi dan orientasi instruktur dalam menentukan strategi peran seorang instruktur dalam perkaderan. Salah satunya dengan memahami konsep “pendidikan kritis”.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Sedangkan kritis merupakan kemampuan berpikir untuk mengevaluasi secara sistematis [2] atau dalam hal ini penulis sebut sebagai respon yang besifat reflektif-evaluatif-systemic. Maka pendidikan kritis dimaknai sebagai usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk tujuan menumbuhkan kemampuan berpikir yang bersifat reflektif-evaluatif-systemic.
Teori pendidikan kritis dasarnya sangat dipengaruhi oleh teori kritis yang dibangun dalam ranah ilmu-ilmu sosial dan filsafat. [3] Perkembangan wacana teori kritis, berkembang hingga memasuki wacana teori pendidikan. Teori kritis mengkritik teori (paradigma) pendidikan yang ada (konservatif dan liberal).
Teori kritis mewarnai paradigma baru dalam pendidikan yang diyakini mampu memberdayakan generasi mendatang serta mampu menghidupkan generasi untuk menghadapi era millenium baru yang akan kita masuki. Maka lahirlah paradigma baru dalam teori pendidikan, yang disebut paradigma pendidikan kritis, sebagai wacana tanding dan teori kritik terhadap paradigma pendidikan konservatif dan paradigma pendidikan liberal.
Dalam dunia pendidikan kita dikenalkan dengan tokoh Paulo Freire, tokoh Brazil yang mencetuskan konsep pendidikan kritis. Substansi pemikiran pendidikan Freire terletak pada pandangannya tentang manusia, tentang dunianya yang kemudian ditransformasikan ke dalam dunia pendidikan yang menghasilkan model pendidikan alternatif yang ditawarkannya, yaitu model pendidikan yang membelenggu ke model yang membebaskan.[4]
Freire mendeskripsikan Conscientientizaco sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya. Proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase; kesadaran magis (magical consciousness), naif (naival consciousness) dan kritis (critical consciousness).[5]
Dalam pandangan Freire, humanisasi adalah sebuah gambaran manusia ideal. Manusia ideal adalah manusia yang memperoleh keutuhan. Keutuhan yang diperoleh menjadi manusia yang ideal (humanisasi) ini membutuhkan manusia yang sadar diri.
Adanya kesadaran dalam diri manusia itu diperoleh dengan kebebasan. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan Islam yang menyatakan bahwa kebebasan bukanlah sebuah impian yang berada di luar manusia dan bukan pula sebuah gagasan yang menjadi mitos. Untuk kesempurnaan manusia, kebebasan merupakan keniscayaan. [6]
Selanjutnya, langkah awal untuk menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu “commencement” [7]
Model pendidikan yang membebaskan menurut Freire, antara lain pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang. Kedua, mentransfer (memindahkan) ilmu pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban. [8]
Pendidikan merupakan tindakan yang menggabungkan antara rekayasa politik dan upaya untuk menciptakan berbagai alternatif kehidupan yang baru.
Selain itu, dalam pandangan Freire, pendidikan merupakan latihan untuk memahami makna kekuasaan, dan komponen yang terlibat di dalamnya dalam berkomunikasi tidak dalam pola menguasai.
Tidak mengherankan kalau pendidikan merupakan sarana untuk pertama, untuk mendiskusikan masalah-masalah politik dan kekuasaan secara mendasar, karena pendidikan menjadi ajang terjalinnya makna, hasrat, bahasa dan nilainilai kemanusiaan. Kedua, untuk mempertegas keyakinan secara lebih mendalam tentang sesungguhnya yang disebut manusia dan apa yang menjadi impiannya, dan ketiga, untuk merumuskan dan memperjuangkan masa depan.[9]
Hakikat pendidikan dalam pandangan Freire yaitu pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan yang dimaksud tidak hanya bersifat subyektif atau obyektif saja, namun harus kedua-duanya.
Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawai selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi yang terjadi senyatanya. [10] pendidikan harus melibatkan tiga unsur : (1) Pengajar; (2) Pelajar/ anak didik; dan (3) Realitas dunia.
Pendidikan yang humanis itu memberikan kebebasan kepada kita utuk berpikir kritis, dan semakin banyak kritik yang dilontarkan maka semakin kelompok dominan akan memperketat dirinya. Sesungguhnya, belajar (studying) itu merupakan perkerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya diperoleh dengan praktik langsung.
Sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang bergaya bank (banking education).
Ada beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar: (1) Pembaca harus mengetahui peran dirinya; (2) Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia; (3) Kapan saja mempelajari sesuatu kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yag telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami; (4) perilaku belajar mengasumsikan hubungan dialektis atau pembaca dan peulis yang refleksinya dapat ditemukan dalam tema teks tersebut; dan (5) perilaku belajar menuntut rasa rendah hati (sense of modesty). [11]
Sedangkan Konsep politik dan pendidikan Freire mempunyai visi fisiologis yaitu manusia yang terbebaskan (Liberated Humanity).
Hakikat guru bahwasannya Guru itu harus bertanya kepada dirinya sendiri untuk siapa dan kepada siapa mereka bekerja. Semakin sadar dan komit, mereka semakin mengerti bahwa perannya sebagai guru menuntut mereka untuk mengambil resiko, membelajarkan murid.
Sedangkan Tujuan teks itu tidak boleh hanya menggambarkan sesuatu yang kemudian harus dihafalkan. Sebaliknya seorang guru seharusnya mengungkapkan kehidupan nyata yang sebenarnya bermasalah. Peran guru adalah memaparkan masalah tentang situasi eksistensial yang telah dikodifikasi untuk membantu siswa agar memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap realitas.
Bagi Freire pendidikan merupakan Pedagogy of knowing. Sedangkan guru yang menggunakan metode memorization berarti anti dialog, dan transmisi pengetahuan semacam ini bukanlah suatu alternatif yang tepat.
Sedangkan hakikat siswa ialah pendidikan humanis itu untuk memberikan kebebasan. Kebebasan bagi siswa untuk berpendapat, berlaku aktif, kritis, dan demokratis. Agar kedudukan antara siswa dan guru dalam proses belajar mengajar di kelas itu sama, sama-sama belajar. Sehingga siswa tidak terlalu bergantung pada gurunya.
[1] Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
[2] artikel Using writing to develop and assess critical thinking. Teaching of Psychology
[3] Zamroji, M. 2016. Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam,
[4] Siswanto.Jurnal pendidikan: Pendidikan sebagai Paradigma Pembebasan (Telaah Filsafat Pendidikan Paulo Freire)
[5] William A. Smith, Conscientientizaco Tujuan Pendidikan Paulo Freire, ter. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001), hlm. 54.
[6] Rusli Karim, “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, ed. Muslih Usa (Yogyakarta: Tiara Wacaba, 1991), hlm. 33-34.
[7] Siswanto.Jurnal pendidikan: Pendidikan sebagai Paradigma Pembebasan (Telaah Filsafat Pendidikan Paulo Freire)
[8] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: alMa’arif,1980), hlm. 92.
[9] Freire, Politik Pendidikan, hlm. 6
[10] Hardjono, dkk. 2016. Artikel Analisis Filsafat Pendidikan Paulo Freire. Hlm. 8
[11] Hardjono, dkk. 2016. Artikel Analisis Filsafat Pendidikan Paulo Freire. Hlm. 29-32
- Muhammadiyah, IMM, dan Gerakan Keilmuan - January 8, 2021
- Filsafat Pendidikan Kritis* - January 8, 2021
- Gethok Tular - January 8, 2021